Rabu, 28 Januari 2015

Tugas 3 - Pengantar Telematika

1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan fasilitas layanan telematika!
  • Kurangnya Pengawasan, setiap penggunaan layanan telematika seperti internet apabila kurang diawasi oleh pemerintah maka membuat penyalahgunaan internet semakin marak.
  • Pengaruh Komunitas, dapat dilihat dari kasus penyerangan Server SONY yang di retas oleh Oknum Hacker yang mengatasnamakan GOP dan mengambil berbagai file internal di dalam Server Sony tersebut dan mempublikasikannya. 
  • Peranan Orang Tua, untuk pengguna dibawah umur atau remaja yang masih dalam pengawasan orang tua dalam mengakses konten digital dari layanan telematika. Bila peranan orang tua kurang maka penyalahgunaan layanan telematika dari user tersebut sangat terbuka.
2. Jelaskan menurut pendapat masing-masing bagaimana caranya mengurangi penyalahgunaan fasilitas layanan telematika!
  • Pembatasan konten yang dapat diakses oleh pengguna
  • Peningkatan pengawasan konten layanan telematika
  • Peningkatan security konten layanan
  • Pendidikan konten layanan telematika
3. Apa dampak yang terjadi dari penyalahgunaan fasilitas layanan telematika, jelaskan!
  • Banyak terjadi cyber crime yaitu mengkloning data
  • Penyalahgunaan data seseorang atau perusahaan yang dapat menyebabkan seseorang atau orang banyak baik dari segi sosial maupun ekonomi
  • Dapat mengurangi sifat sosial manusia, karena lebih suka berinteraksi menggunakan fasilitas telematika dari pada berinteraksi secara langsung karena dianggap lebih praktis
  • Seseorang yang sudah terlalu nyaman menggunakan fasilitas telematika dapat menjadi kecanduan hingga lupa waktu
  • Layanan telematika menjadi lambat karena semakin banyak penggunanya
  • Penyebaran virus yang menyerang hardware dan software
  • Dapat terjadi kejahatan pengubahan atau modifikasi data tanpa seizin pemilik data tersebut
  • Anak di bawah umur dapat memperoleh materi tentang seks, kekerasan dan lain sebagainya melalui internet secara terbuka dan tanpa penghalang
  • Kerusakan data seseorang atau perusahaan yang bersifat rahasia



Kamis, 08 Januari 2015

Perilaku Seksual Remaja



Setiap orang pasti memahami, seks merupakan salah satu kebutuhan manusia. Ini tidak dapat dipungkiri. Kenyataannya sekarang, seks bukan lagi sesuatu yang tabu. Berkaitan dengan ini,  Sigmund Freud,  seorang psikolog klasik yang sangat kontrovesial pernah mengatakan, dorongan seksual manusia merupakan motivasi paling kuat untuk melakukan tindakan dalam kehidupan manusia.
Generasi muda dewasa ini perlu mengetahui masalah seks sejak dini. Semua pihak, seperti orang tua, guru, tokoh agama dan masyarakat perlu memahami masalah seks. Harapannya, yang pertama memberikan keterangan tentang seks adalah orang tua. Orang tua bisa menjelaskan kepada anak-anaknya. Ini penting untuk menghindari terjadi prilaku seks di luar kewajaran, seperti kehamilan di luar nikah dan seks bebas. Tentu tindakan seperti itu tidak sesuai dengan norma-norma adat dan norma-norma agama.
Manusia itu binatang bernalar, punya pikiran. Inilah yang membedakan kita dengan binatang seperti anjing, sapi dan lainnya. Dunia remaja adalah dunia coba-coba, keinginan besar untuk mengetahui apa saja, juga terutama masalah seks. Di sekolah maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya pengenalan reproduksi masih dirasa tabu dan tidak penting.
Ahli psikolog, Elizabeth B Hurlock mengatakan, bagi remaja dorongan untuk melakukan hubungan seks datang dari tekanan-tekanan sosial, terutama dari minat remaja pada seks dan keingintahuannya tentang seks. Karena meningkatnya minat pada seks remaja selalu mencari pelbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh tentang seks.
Remaja memperoleh pendidikan seks melalui saluran yang tidak pas. Sehingga wajar bila terjadi perilaku seks yang menyimpang. Dalam kenyataannya, masih banyak anak remaja yang  mengakui bahwa pendidikan seks tidak didapat dari orangtua, tetapi didapatnya dari buku bacaan dan dari informasi yang diberikan temannya. Katanya, karena di sekolah ataupun di masyarakat tidak ada mata pelajaran khusus membahas pendidikan tentang organ seksual. Bahkan katanya, karena tidak mengetahui pendidikan seks dengan benar bebarapa temannya harus menanggung malu karena hamil. Mereka itu tahu enaknya saja, namun belum mengerti apa akibat yang ditimbulkan.
Atas dasar pemikiran tersebut, tentu akan sangat membantu remaja bila program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dijadikan materi pembinaan di sekolah-sekolah maupun di Karang taruna. Materi kesehatan reproduksi diberikan alokasi tersendiri, dan di sekolah bisa dijadikan kegiatan ekstrakurikuler yang wajib diikuti para siswa. Ini penting untuk memberi pemahaman pada remaja dampak negatif perilaku seks bebas. Harapannya kita pada akhir masa remaja sebagian besar remaja laki-laki dan perempuan sudah mempunyai cukup informasi tentang seks.
Telaah-telaah tentang apa yang terutama ingin diketahui tentang seks menunjukan bahwa perempuan sangat ingin tahu tentang: Keluarga Berencana (“Pil Antihamil”), pengguguran, dan kehamilan. Sementara, laki-laki ingin mengetahui tentang: penyakit kelamin, kenikmatan seks, hubungan seks, dan keluarga berencana. Minat utama mereka tertuju pada masalah seks, konteksnya, dan akibat.
Bagi remaja perbincangan mengenai hubungan seks bukan hal yang tabu, sudah menjadi hal yang biasa. Sekarang dianggap benar dan normal atau paling sedikit di perbolehkan. Bahkan hubungan seks di luar nikah dianggap benar apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai dan saling terkait. Senggama yang disertai kasih sayang lebih diterima dari pada bercumbu sekedar melepas nafsu.
Hurlock berpendapat, penggolongan peran seks atau belajar melakukan peran seks yang diakui lebih mudah bagi laki-laki dari pada perempuan.
Pertama, sejak awal masa kanak-kanak laki-laki telah disadarkan akan perilaku yang patut dan didorong, didesak atau bahkan dipermalukan untuk upaya penyesuaian diri dengan standar-standar yang di akui. Kedua, dari tahun ke tahun laki-laki mengetahui bahwa peran pria memberi martabat yang lebih terhormat dari pada peran wanita.
Menurut Elizabeth B Hurlock, beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seks pada remaja. Pertama, faktor perkembangan yang terjadi dalam diri mereka berasal dari keluarga di mana anak mulai tumbuh dan berkembang. Hubungan cinta kasih orang tua merupakan faktor utama bagi seksualitas anak selanjutnya. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua dalam suatu keluarga merupakan dasar bagi pendidikan selanjutnya.
Dalam hal ini sikap orang tua dapat digolongkan menjadi tiga,
(1) orang tua yang melarang anak-anaknya membicarakan soal-soal seks, karena itu dianggap tabu;
(2) orang tua yang acuh tak acuh. Mereka sama sekali tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya, termasuk dalam hal seksualitas;
(3) orang tua yang benar-benar memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka mau memberi penjelasan tentang pergaulan putra-putrinya.

Kedua, faktor luar yang mencakup sekolah cukup berperan terhadap perkembangan remaja dalam mencapai kedewasaannya. Di sekolah mereka dihadapkan dengan pemikiran dan pandangan serta penilaian yang lebih obyektif, termasuk dalam soal seksualitas. Namun sayang, realitasnya kebanyakan sekolah kurang berani dan belum menangani secara serius.
Ketiga, masyarakat yaitu adat kebiasaan, pergaulan dan perkembangan di segala bidang khususnya teknologi yang dicapai manusia pada dewasa ini. Bagi remaja desa, di mana masyarakat masih menjaga dan melindungi adat secara ketat, sedikit sekali anak berprilaku berandalan. Lingkungan masyarakat yang baik akan mempengaruhi orang yang baik dan kuat. Pada masyarakat kota, di samping orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, lingkungan masyarakat juga besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak.


Lebih lanjut Hurlock, mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja:
Pertama, Perasaan Superioritas Maskulin.
Perasaan lebih unggul yang dirasakan oleh anak laki-laki terhadap perempuan ketika masa akhir kanak-kanak. Dalam masa remaja anak laki-laki menaruh perhatian pada anak perempuan dan berkencan, namun perasaan superioritas tetap masih ada.
Superioritas anak laki-laki biasanya diungkapkan dengan anak laki-laki berperan lebih dalam berbagai bidang; sekolah, sosial dan masyarakat. Meskipun anak perempuan juga tidak menutup kemungkinan berperan lebih penting dalam bidang tertentu, namun anak laki-laki merasa ia yang lebih pantas dan menganggap hal ini gengsi. Di samping itu anak laki-laki berusaha menunjukkan keunggulannya dengan mencapai prestasi yang lebih tinggi dari pada prestasi anak perempuan.
Kedua, Prasangka Seks (seks bias).
Prasangka seks atau keunggulan cenderung merendahkan prestasi wanita meskipun berprestasi melampaui prestasi pria, erat hubungannya dengan perasaan keunggulan laki-laki remaja yang berkembang dengan penggolongan peran seks. Anak permpuan mungkin mengetahui bahwa kemampuan prestasinya dari pada anak laki-laki namun ia tidak berani mengungkapkan hal itu. Ketidakberanian mengungkapkan ini akan membahayakan dirinya untuk memperoleh dukungan sosial. Konsekuensinya, wanita menganggap bahwa prestasinya lebih rendah dari pada prestasi laki-laki bahkan sampai-sampai kaumnya benar-benar mempercayai anggapan ini.
Ketiga, Prestasi Rendah.
Kesadaran tentang nilai yang dimiliki anak laki-laki bagi pasangan kencan dan pasangan hidup mendorong anak perempuan untuk berprestasi rendah dalam setiap kegiatan yang melibatkan kedua kelompok seks. Hal ini dilakukan karena untuk menyesuaikan diri dalam stereotipe tradisional tentang keunggulan maskulin. Dalam kegiatan-kegiatan yang hanya melibatkan anak perempuan, seperti di sekolah-sekolah yang khusus untuk anak perempuan., tidak ada alasan untuk berprestasi rendah, dengan demikian anak perempuan berprestasi sesuai dengan kemampuannya kecuali kalau ada alasan-alasan lain yang mengakibatkan prestasi rendah.
Keempat, Takut Berhasil.
Di balik prestasi yang rendah pada beberapa anak perempuan terdapat rasa takut berhasil---ketakutan yang didasarkan pada anggapan bahwa keberhasilan akan menghalangi diberikannya dukungan sosial oleh anak laki-laki dan meletakkan halangan yang sangat besar dalam proses pemilihan pasangan hidup. Meskipun ketakutan ini bersifat sementara sampai anak perempuan menemukan sang idaman untuk menikah, ketakutan ini dapat memperkuat kecenderungan untuk berprestasi rendah, suatu kecenderungan yang dapat sering kali menjadi kebiasaan untuk berprestasi rendah sepanjang hidup. Hal ini jarang terjadi pada anak perempuan yang mengikuti sekolah khusus untuk anak perempuan dibandingkan dengan perempuan yang bersekolah di sekolah campuran.
Untuk itu besar harapan kita, semua  orang tua, guru, masyarakat, tokoh agama dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang seks yang benar kepada remaja. Karena saat ini berbicara masalah seks bukan lagi hal yang tabu. Remaja harus mengetahuinya. Para pendidik diharapkan memahami karakteristik perilaku seksual remaja, perkembangan peranan seks pada remaja, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja.



Sumber:

Rokok dan Sosialisasi



Walaupun bukan merupakan sesuatu yang diharamkan oleh agama, merokok merupakan kebiasaan negatif yang dapat menimbulkan dampak buruk, terutama bagi anak remaja.  Bila sudah kecanduan akan sangat susah untuk menghentikan kebiasaan merokok ini. Angka kejadiannya pada remaja-remaja di Amerika Serikat pada tahun 2000 melebihi 25% dari angka kejadian merokok pada orang dewasa., dan dikatakan terdapat peningkatan sekitar 59% dari tahun 1988. Lebih dari 80% perokok mulai sebelum umur 18 tahu
Di Indonesia, walaupun belum ada data pasti tentang merokok pada remaja, diperkirakan angka kejadiannya tidak jauh berbeda dengan kondisi di negara lain. Namun yang pasti, merokok telah menjadi semacam “trademark” bagi seorang remaja laki-laki untuk menunjukkan maskulinitasnya. Remaja yang tidak merokok dianggap tidak gaul, tidak modern, dan kurang luwes dalam pergaulan. Yang memprihatinkan, sekarang ini tidak sedikit remaja perempuan yang juga memiliki kebiasaan merokok. Walaupun jumlahnya kecil dari remaja laki-laki, namun menilik akibat bagi kesehatannya termasuk keturunannya kelak, kebiasaan yang negatif ini perlu diwaspadai.
Secara lebih detail  Ida Bagus Subanada (dalam Soetjiningsih, 2004) menguraikan faktor-faktor penyebab remaja untuk merokok. Faktor-faktor tersebut secara garis besar digolongkan menjadi empat macam:
Pertama, faktor psikologik. Faktor psikologik terdiri atas  faktor perkembangan sosial dan faktor psikiatrik. Terkait dengan perkembangan sosial, aspek perkembangan yang ada pada remaja antara lain: 
 (1) Menetapkan kebebasan dan otonomi,
(2) Membentuk identitas diri,
(3) Penyesuaian perubahan psikososial yang berhubungan dengan maturasi fisik.
Merokok menjadi sebuah cara bagi remaja agar mereka tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya yang merokok. Istirahat/santai dan kesenangan, tekanan-tekanan teman sebaya, penampilan diri, sifat ingin tahu, stress, kebosanan, ingin kelihatan gagah dan sifat suka menentang, merupakan hal-hal yang dapat mengkontribusi mualinya merokok pada anak remaja. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi adalah rasa rendah diri, hubungan antar perseorangan yang jelek, kurang mampu mengatasi stress, putus sekolah, sosial ekonomi yang rendah, tingkat pendidikan orangtua yang rendah, serta tahun-tahun transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah (usia 11-16 tahun).
Merokok sering dihubungkan dengan remaja yang memiliki nilai di sekolah yang jelek, aspirasi yang rendah, penggunaan alkohol serta obat-obatan lainnya, absen sekolah, kemungkinan putus sekolah, rendah diri, suka melawan, dan pengetahuan tentang bahaya merokok yang rendah. Sementara terkait dengan faktor psikiatrik, studi epidemiologi pada orang dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan gangguan psikiatrik seperti skizofrenia, depresi, cemas, dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Pada remaja didapatkan asosiasi antara merokok dengan depresi dan cemas. Gejala depresi lebih sering terjadi pada remaja perokok dari pada yang bukan perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja yang memperlihatkan gejala depresi dan cemas mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk memulai merokok. Remaja dengan gangguan cemas bisa menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami.
Kedua, faktor biologik. Beberapa faktor biologik yang mempengaruhi kebiasaan merokok terdiri atas:
(1) Faktor Kognitif, Beberapa perokok merasakan adanya efek bermanfaat dari nikotin, yang  konon dapat memperbaiki konsentrasi, sehingga menyebabkan mereka kecanduan merokok. Sebenarnya pada remaja, efek nikotin dalam meningkatkan penampilan tidak diketahui. Dengan demikian tidak jelas apakah nikotin memegang peranan penting dalam memulai atau mempertahankan merokok pada remaja.
 (2) Faktor Jenis Kelamin. Belakangan, merokok meningkat pada remaja perempuan. Wanita merokok dilaporkan menjadi percaya diri, suka menentang dan secara sosial cakap. Keadaan ini berbeda dengan laki-laki perokok yang secara sosial tidak aman.
(3) Faktor Etnik.  Etnik atau suku tertentu, angka kejadian merokok tinggi. Sementara etnik lainnya, angka kejadiannya lebih rendah. Hal ini menyebabkan dorongan merokok pada remaja juga berbeda. Di Amerika, angka kejadian merokok tertinggi ada pada orang-orang kulit putih dan penduduk asli, sementara kejadian terendah adalah pada orang-orang keturunan Afrika dan Asia. Di Indonesia, Suku Jawa memiliki kebiasaan merokok lebih kuat daripada suku Madura.
(4) Faktor Genetik. Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang memetabolisme nikotin. Ini menyebabkan meningkatnya resiko kecanduan nikotin pada beberapa individu.
Ketiga, faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang memiliki kontribusi terhadap kebiasaan merokok pada remaja adalah orangtua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok. Reklame rokok yang gencar serta artis idola yang merokok juga memiliki dampak pada keinginan merokok pada remaja. Orangtua memegang peranan terpenting. Dari remaja yang merokok, didapatkan 75%  salah satu atau kedua orangtuanya  merokok.
Keempat, faktor regulatori. Peningkatan harga jual atau diberlakukannnya cukai yang tinggi, akan menurunkan pembelian dan konsumsi. Pembatasan fasilitas/daerah bebas merokok, diyakini mampu mengurangi konsumsi. Namun kejadian ini tidak banyak memberikan pengruh pada remaja, karena kenyataannya tetap saja terdapat peningkatan kejadian merokok pada remaja, walaupun telah dilakukan usaha-usaha untuk mencegahnya.
Atas dasar faktor-faktor di atas, program penghentian merokok pada remaja sering tidak memberikan hasil yang memuaskan. Namun demikian, program penghentian merokok yang dilakukan di sekolah melalui upaya pemberian informasi tentang bahaya merokok bagi kesehatan, dinilai memberikan hasil yang cukup berarti. Kebanyakan program pencegahan merokok akhir-akhir ini terfokus pada periode transisi dari SD ke SMP, karena selama  periode ini terjadi peningkatan merokok lebih dari 3 kali lipat.
Dalam rangka menekan jumlah angka perokok pada remaja, dibutuhkan peran orang tua dan juga pemerintah dalam upaya menekan jumlah perokok aktif di kalangan remaja. Pemerintah harus membuat kiat-kiat untuk melindungi remaja dari bahaya rokok.
Hal yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah untuk tidak memperkenalkan rokok kepada anak-anaknya di usia dini. Tanpa disadari, sekarang banyak orang tua yang merokok di depan anaknya sehingga anak mereka meniru hal tersebut. Orang tua sebagai perokok sebaiknya tidak merokok di depan anak-anak mereka karena hal tersebut dapat memberikan kemungkinan yang besar bagi anak mereka untuk merokok.
Hal lain yang dapat dilakukan orang tua, terutama orang tua yang bukan perokok aktif adalah memberikan pendidikan dini mengenai rokok kepada anak-anaknya. Orang tua diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai rokok dan apa saja bahaya yang dapat ditimbulkan oleh rokok. Orang tua juga harus memantau lingkungan sekolah dan lingkungan bermain anak. Sedangkan, hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah membatasi penjualan rokok. Pemerintah diharapkan dapat memantau penjualan rokok. Rokok tidak seharusnya dijual bebas di pasaran, seperti di warung-warung kecil. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan sanksi yang tegas bagi para penjual rokok yang menjual barang dagangannya kepada anak yang berusia di bawah umur.
Selain itu, pemerintah juga seharusnya bersikap tegas dengan orang-orang yang merokok di tempat umum. Sekarang memang banyak dijumpai area-area khusus bagi perokok, namun tetap saja banyak perokok yang tidak menghiraukannya. Mereka tetap saja merokok di depan khalayak umum tanpa menyadari bahwa orang-orang di sekelilingnya juga akan mendapat bahaya dari asap rokok mereka. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak memberikan sanksi yang tegas bagi para merokok yang merokok sembarangan. Pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti para perokok tersebut karena mereka turut membahayakan orang lain.Dan yang terakhir, pemerintah seharusnya dapat mengontrol tayangan-tayangan iklan rokok. Bukan hanya iklan-iklan di media elektronik, tetapi juga di media cetak. Saat ini iklan rokok di media elektronik memang sudah dibatasi jam-jamnya. Namun tetap saja iklan-iklan rokok dapat kita temui dengan mudah di koran, majalah, atau bahkan di baliho-baliho yang tersebar di jalanan. Hal tersebut membuat siapa saja dapat melihat iklan rokok, termasuk para remaja. Jadi, diharapkan pemerintah dapat lebih kritis untuk menyeleksi iklan-iklan rokok


Sumber:

Pergeseran Budaya dan Perilaku Hedonisme Dikalangan Remaja



Kalau Anda berkenan untuk sejenak berhenti dari kesibukan membuat tugas kuliah atau diskusi tentang mata kuliah, baik kalau kita menjadi lebih kritis untuk mengamati kecenderungan perilaku kaum muda remaja dewasa ini yang tentunya menarik untuk dipikirkan bersama.
Semakin pesatnya tren kapitalisme dan konglomerasi elite tertentu maka pertumbuhan kwantitatif tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan semakin berkembang bak jamur dimusim hujan. Fenomena tersebut secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang. Pergeseran budaya mulai menjangkiti kaum muda remaja tanpa kompromi dan eksodus besar-besaran tentang paradigma berpikir kaum muda remaja, dari budaya timur menuju budaya barat. Anda dapat melihat kaum muda remaja hedonis berseliweran dengan berbagai mode rambut dengan busana thank top atau junkies, dan alat-alat digital lainnya. Iklim masyarakat sekarang jauh berbeda dengan masyarakat tempo dulu. Namun, bila gejala ini kita telaah lebih lanjut bahwa kaum muda remaja telah jatuh kedalam euforia budaya pop. Selanjutnya kaum muda remaja yang seharusnya menjadi homo significans malahan jatuh kedalam pendangkalan nilai hidup.
Tulisan ini hanya mengajak para pembaca untuk merenungi dampak globalisasi tanpa harus terjerat ke dalam arus pendangkalan hidup post-modernisasi dan bagaimana hal tersebut tidak menggerogoti nilai-nilai positif yang menjadi warisan budaya kita.
Euforia Budaya Pop Remaja : Buah Globalisasi
Manusia harus berubah. Itulah hal yang mendasar yang perlu dipikirkan secara bersama. Memang benar bahwasannya manusia dengan segala budaya dan akal budinya harus dikembangkan seoptimal mungkin, karena akan semakin mengkokohkan kedudukannya dimuka bumi sebagai God Creature yang sempurna dibandingkan dengan ciptaan lainnya.
Kali ini, manusia beralih menuju rentang waktu yang kontradiksional dengan fase-fase sebelumnya, yaitu fase globalisasi. Di satu sisi manusia memang dituntut untuk berkembang menuju kearah yang lebih modern, baik aspek teknologi, hukum, sosial/kesejahteraan sosial, politik, demokrasi, dan semua sistem lainnya harus disempurnakan. Teknologi bidang informatika, kedokteran, bioteknologi, dan transportasi mengalami perkembangan yang begitu dahsyat mengatasi batas-batas ruang dan waktu.
Namun, tidak boleh dilupakan bahwa hasil perkembangan manusia bersifat relatif dan ambivalen. Pengaruh negatif dari globalisasi adalah euforia budaya pop, perdagangan bebas, marginalisasi kaum lemah, dan timbulnya gap relation antaara si kaya dan si miskin. Hasil tersebut telah membentuk suatu budaya baru bagi masyarakat, khususnya kaum muda remaja menjadi manusia yang terjebak dalam arus budaya pop.
Penghayatan Hidup dikalanagan Remaja yang Semakin Mendangkal
Ilustrasi di awal tulisan ini hanyalah sekelumit deskrispsi yang membuktikan eksistensi kecenderungan dalam diri manusia modern. Masih banyak contoh-contoh lain sebagai hasil dari globalisasi. kaum muda remaja dewasa ini lebih suka membaca komik atau main game daripada harus membaca buku-buku bermutu. Bacaan dengan analisis mendalam dan novel-novel bermutu hanya menjadi bagian kecil dari skala prioritas mereka, bahan-bahan bacaan seperti itu hanya tersentuh jika terpaksa atau karena tuntutan akademis.
Anda dapat mengelak bahwa gejala-gejala ini merupakan bentuk adaptif dari kemajuan zaman. Tapi, itu adalah rasionalisasi. Sebenarnya, kecenderungan manusia sekarang bukan hanya sekedar masalah mengikuti perkembangan zaman melainkan hal ini adalah masalah gengsi dan penghayatan hidup.
Bukti yang paling mengena adalah televisi, berbagai acara televisi semakin hari semakin jauh dari idealisme jurnalistik, bahkan semakin melegalkan budaya kekerasan, instanisasi, dan bentuk-bentuk kriminalitas. Sebagian tayangan-tayangan tersebut hanya semakin mendangkalkan sifat afektif manusia. Tayangan mengenai bencana alam, kemiskinan, perang, kelaparan, penemuan teknologi, pembelajaran budaya, dan lain sebagainya telah membuat sisi afeksi manusia tidak peka terhadap hal tersebut. Tidak ada proses batin dan intelektual lebih lanjut. Penghayatan nilai-nilai luhur semakin tereduksi.
Eksistensi kaum muda remaja hanya ditempatkan pada pengakuan-pengakuan sementara, misalnya seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerk, menggunakan blueberry, dugem, clubbing, melakukan freesex, ngedrugs, dan lain sebagainya. Eksistensi kaum muda remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Jika pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan dikalangan remaja kita, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jauh. Hasilnya adalah menghilangnya penghargaan terhadap manusia lainnya, misalnya: perang, pemerkosaan, komersialisasi organ tubuh, trafficking, tawuran, dll. Contoh-contoh ini menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan kaum muda remaja kita. Dampak yang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan!
Solusi : Internalisasi
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa manusia sebagai homo significans, pada hakikatnya menjadikan manusia sebagai manusia pemberi makna. Jurus paling ampuh untuk mengatasi pendangkalan hidup post-modernisasi adalah pengendapan atau internalisasi. Internalisasi merupakan proses memaknai kembali makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami.
Ada dua metode internalisasi yang ditawarkan, yaitu budaya refleksi dan keheningan. Keduanya saling komplementer dan tidak dapat dipisahkan jika hendak melawan arus budaya pop. Refleksi membutuhkan suasana hening. Keheningan jiwa dapat tercapai saat berefleksi. Secara etimologis, refleksi berasal dari verbum compositum bahasa Latin re-flectere, artinya antara lain, memutar balik, memalingkan, mengembalikan, memantulkan, dan memikirkan. Kiranya, dua arti terakhir yang cocok untuk mendefinisikan refleksi dalam kerangka permenungan ini. Refleksi adalah usaha untuk melihat kembali sesuatu secara mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi hingga dapat menemukan nilai yang mulia yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bekal hidup. Euforia budaya pop di masa globalisasi menawarkan begitu banyak hal yang hanya berakhir menjadi kesan-kesan tanpa satupun yang dapat dialami. Dengan budaya refleksi, kesan-kesan tersebut dapat diendapkan.
Secara satu persatu pengalaman negatif maupun positif dapat dianalisis, dipertimbangkan, disimpulkan, dan akhirnya diendapkan dalam nurani. Proses inilah yang membuat kaum muda remaja dapat menyadari baik dan buruknya suatu sikap. Dalam proses ini juga kaum muda remaja diajak untuk menindaklanjuti berbagai pengalaman yang didapat, sehingga muncul nilai-nilai dari setiap kejadian yang dialami, dan tentunya nilai tersebut dapat menjadi bekal hidup selanjutnya.
Peran refleksi dalam kerangka ini juga sebagai nabi, untuk mengingatkan segala larangan ataupun perintah Tuhan yang diajarkan. Refleksi berperan menjadi fungsi kritis dalam diri kaum muda remaja. Saat ia mengalami pendangkalan nilai-nilai hidup dalam bentuk pragmatisme, konformitas buta dan sebagainya. Refleksi menunjukkan kesalahannya, dan mengarahkan kepada yang benar.
Oleh karena itu kita sebagai kaum muda remaja harus mampu merubah diri kita menjadi manusia yang bermakna bagi orang lain melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Usaha ini hanya bisa tercapai melalui usaha pribadi bukan orang lain, ada pepatah mengatakan jangan mengubah orang lain sebelum bisa mengubah diri sendiri. Selamat berefleksi diri wahai para remaja !





Sumber:

Kolaborasi Gaya Hidup Remaja, Sastra, Media Dan Internet



Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para sastrawan dari generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun. Sastra bagi remaja perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen, puisi, dan esai-esai serius. Sastra remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang terekspresikan dalam medium-medium baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan saat ini adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah sastra sebelumnya. Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya yang berpihak pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas yang juga kental di dalam historiografi-nya.
Dalam konteks remaja perkotaan secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan tidak eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil remaja perkotaan sekarang.
Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang.
Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan.
Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”.
Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah diterbitkan.
Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda.
Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita.
Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan.
Gaya Hidup Remaja dan Media
Semua jenis media, baik itu Internet, televisi, film, musik, maupun majalah, berpengaruh besar terhadap gaya hidup kita masa kini. Kebanyakan media menginformasikan tentang gaya hidup remaja kota, yang notabene meniru gaya hidup modern. Maka, tidak heran jika kita digiring menjadi sangat konsumtif.
Masa remaja adalah masa pencarian identitas. Kita sebagai remaja mulai mencari gaya hidup yang pas dan sesuai dengan selera. Kita juga mulai mencari seorang idola atau tokoh identifikasi yang bisa dijadikan panutan, baik dalam pencarian gaya hidup, gaya bicara, penampilan, dan lain-lain. Imbasnya banyak kita jumpai teman-teman dengan berbagai atributnya yang sebenarnya mereka hanya meniru-niru saja. Sadar tidak sih kalau saat ini banyak sekali sinetron remaja yang menawarkan life style baru? Para bintang muda yang digandrungi ternyata mampu mengubah style remaja.
Pada masa remaja pengaruh idola memang sangat kuat. Idola atau tokoh akan mengendalikan hidup kita yang mungkin tanpa kita sadari. Nah, di sinilah media.
Namun, apakah benar bahwa media sedemikian buruk pengaruhnya bagi remaja? Sebenarnya tidak seratus persen demikian. Hal ini menjadi tantangan bagi kita untuk memilah-milah atau selektif terhadap pesan yang disampaikan oleh media. Karena, tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan media mutlak diperlukan. Karena, pada suatu sisi media memungkinkan kita untuk tahu beragam informasi, berita, penemuan, dan hal-hal baru. Atau bisa disimpulkan bahwa sebenarnya hadirnya media berpengaruh positif dan juga negatif.
Keberadaan media memang tidak lepas dari kepentingan pasar. Dengan demikian, kalau kita tidak selektif terhadap pesan media, kita akan menjadi korban media. tidak salah memang ketika kita membeli sebuah produk berdasarkan informasi dari media. Namun, yang perlu diingat, seberapa perlu produk yang kita beli itu bagi diri kita. Apakah kita memang membutuhkan produk itu ataukah karena kita terpengaruh oleh iming-iming yang disampaikan oleh media.
Remaja : Jangan memaksakan diri
Tidak ada salahnya memang untuk tampil menarik seperti yang banyak diiklankan di media, dengan sebagian produk yang ditawarkan untuk membantu mewujudkan impian itu. Juga merupakan sesuatu yang wajar untuk pergi berbelanja membeli barang-barang kesukaan. Namun, yang mesti kita ingat, jangan memaksakan diri. Kalau kita ikuti perkembangan mode pakaian, misalnya, kalau tidak pantas, ya tidak usah dibeli, sebaiknya kita sesuaikan dengan diri kita. Singkatnya sih tidak harus mengikuti tren yang ada, tetapi yang penting nyaman di tubuh kita. Pokoknya yang penting kita percaya diri, nyaman dengan diri sendiri, menerima apa adanya, love yourself. Bahkan, akan lebih oke lagi kalau kita bisa menunjukkan kelebihan-kelebihan kita yang lain.
Nah, jelaskan? Media memang punya dampak positif dan negatif. Kita harus arif menyikapinya. Cara gampang adalah mengenali diri kita sendiri dan mengenali apa yang menurut kita sangat penting. Mengenali apa yang kita sukai, apa yang bisa kita toleransi dari orang lain dan hal-hal yang membuat kita merasa mantap. Kalau setelah kita renungkan semua berbeda dari apa yang benar versi media, itu artinya kita harus segera ambil strategi. So, jangan menelan secara mentah-mentah apa yang diinformasikan media sehingga tidak begitu saja menjadi korban media.

Sumber: