Setiap orang pasti memahami, seks merupakan salah
satu kebutuhan manusia. Ini tidak dapat dipungkiri. Kenyataannya sekarang, seks
bukan lagi sesuatu yang tabu. Berkaitan dengan ini, Sigmund Freud,
seorang psikolog klasik yang sangat kontrovesial pernah mengatakan,
dorongan seksual manusia merupakan motivasi paling kuat untuk melakukan
tindakan dalam kehidupan manusia.
Generasi muda dewasa ini perlu mengetahui masalah
seks sejak dini. Semua pihak, seperti orang tua, guru, tokoh agama dan
masyarakat perlu memahami masalah seks. Harapannya, yang pertama memberikan
keterangan tentang seks adalah orang tua. Orang tua bisa menjelaskan kepada
anak-anaknya. Ini penting untuk menghindari terjadi prilaku seks di luar
kewajaran, seperti kehamilan di luar nikah dan seks bebas. Tentu tindakan
seperti itu tidak sesuai dengan norma-norma adat dan norma-norma agama.
Manusia itu binatang bernalar, punya pikiran.
Inilah yang membedakan kita dengan binatang seperti anjing, sapi dan lainnya.
Dunia remaja adalah dunia coba-coba, keinginan besar untuk mengetahui apa saja,
juga terutama masalah seks. Di sekolah maupun di lingkungan masyarakat pada
umumnya pengenalan reproduksi masih dirasa tabu dan tidak penting.
Ahli psikolog, Elizabeth B Hurlock mengatakan,
bagi remaja dorongan untuk melakukan hubungan seks datang dari tekanan-tekanan
sosial, terutama dari minat remaja pada seks dan keingintahuannya tentang seks.
Karena meningkatnya minat pada seks remaja selalu mencari pelbagai sumber
informasi yang mungkin dapat diperoleh tentang seks.
Remaja memperoleh pendidikan seks melalui saluran
yang tidak pas. Sehingga wajar bila terjadi perilaku seks yang menyimpang.
Dalam kenyataannya, masih banyak anak remaja yang mengakui bahwa
pendidikan seks tidak didapat dari orangtua, tetapi didapatnya dari buku bacaan
dan dari informasi yang diberikan temannya. Katanya, karena di sekolah ataupun
di masyarakat tidak ada mata pelajaran khusus membahas pendidikan tentang organ
seksual. Bahkan katanya, karena tidak mengetahui pendidikan seks dengan benar
bebarapa temannya harus menanggung malu karena hamil. Mereka itu tahu enaknya
saja, namun belum mengerti apa akibat yang ditimbulkan.
Atas dasar pemikiran tersebut, tentu akan sangat
membantu remaja bila program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dijadikan materi
pembinaan di sekolah-sekolah maupun di Karang taruna. Materi kesehatan
reproduksi diberikan alokasi tersendiri, dan di sekolah bisa dijadikan kegiatan
ekstrakurikuler yang wajib diikuti para siswa. Ini penting untuk memberi
pemahaman pada remaja dampak negatif perilaku seks bebas. Harapannya kita pada
akhir masa remaja sebagian besar remaja laki-laki dan perempuan sudah mempunyai
cukup informasi tentang seks.
Telaah-telaah tentang apa yang terutama ingin
diketahui tentang seks menunjukan bahwa perempuan sangat ingin tahu tentang:
Keluarga Berencana (“Pil Antihamil”), pengguguran, dan kehamilan. Sementara,
laki-laki ingin mengetahui tentang: penyakit kelamin, kenikmatan seks, hubungan
seks, dan keluarga berencana. Minat utama mereka tertuju pada masalah seks,
konteksnya, dan akibat.
Bagi remaja perbincangan mengenai hubungan seks
bukan hal yang tabu, sudah menjadi hal yang biasa. Sekarang dianggap benar dan
normal atau paling sedikit di perbolehkan. Bahkan hubungan seks di luar nikah
dianggap benar apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai dan saling
terkait. Senggama yang disertai kasih sayang lebih diterima dari pada bercumbu
sekedar melepas nafsu.
Hurlock berpendapat, penggolongan peran seks atau
belajar melakukan peran seks yang diakui lebih mudah bagi laki-laki dari pada
perempuan.
Pertama, sejak awal
masa kanak-kanak laki-laki telah disadarkan akan perilaku yang patut dan
didorong, didesak atau bahkan dipermalukan untuk upaya penyesuaian diri dengan
standar-standar yang di akui. Kedua, dari tahun ke tahun laki-laki mengetahui
bahwa peran pria memberi martabat yang lebih terhormat dari pada peran wanita.
Menurut Elizabeth B Hurlock, beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku seks pada remaja. Pertama, faktor perkembangan yang
terjadi dalam diri mereka berasal dari keluarga di mana anak mulai tumbuh dan
berkembang. Hubungan cinta kasih orang tua merupakan faktor utama bagi
seksualitas anak selanjutnya. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua dalam
suatu keluarga merupakan dasar bagi pendidikan selanjutnya.
Dalam hal ini sikap orang tua dapat digolongkan
menjadi tiga,
(1) orang tua yang melarang
anak-anaknya membicarakan soal-soal seks, karena itu dianggap tabu;
(2) orang tua yang acuh tak
acuh. Mereka sama sekali tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya, termasuk
dalam hal seksualitas;
(3) orang tua yang
benar-benar memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka mau memberi
penjelasan tentang pergaulan putra-putrinya.
Kedua, faktor luar
yang mencakup sekolah cukup berperan terhadap perkembangan remaja dalam
mencapai kedewasaannya. Di sekolah mereka dihadapkan dengan pemikiran dan
pandangan serta penilaian yang lebih obyektif, termasuk dalam soal seksualitas.
Namun sayang, realitasnya kebanyakan sekolah kurang berani dan belum menangani
secara serius.
Ketiga, masyarakat
yaitu adat kebiasaan, pergaulan dan perkembangan di segala bidang khususnya
teknologi yang dicapai manusia pada dewasa ini. Bagi remaja desa, di mana
masyarakat masih menjaga dan melindungi adat secara ketat, sedikit sekali anak
berprilaku berandalan. Lingkungan masyarakat yang baik akan mempengaruhi orang
yang baik dan kuat. Pada masyarakat kota, di samping orang tua yang terlalu
sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, lingkungan masyarakat juga besar
pengaruhnya terhadap perkembangan anak.
Lebih lanjut Hurlock, mengemukakan empat faktor
yang mempengaruhi perilaku seksual remaja:
Pertama, Perasaan
Superioritas Maskulin.
Perasaan lebih unggul yang dirasakan oleh
anak laki-laki terhadap perempuan ketika masa akhir kanak-kanak. Dalam masa
remaja anak laki-laki menaruh perhatian pada anak perempuan dan berkencan,
namun perasaan superioritas tetap masih ada.
Superioritas anak laki-laki biasanya
diungkapkan dengan anak laki-laki berperan lebih dalam berbagai bidang;
sekolah, sosial dan masyarakat. Meskipun anak perempuan juga tidak menutup
kemungkinan berperan lebih penting dalam bidang tertentu, namun anak laki-laki
merasa ia yang lebih pantas dan menganggap hal ini gengsi. Di samping itu anak
laki-laki berusaha menunjukkan keunggulannya dengan mencapai prestasi yang
lebih tinggi dari pada prestasi anak perempuan.
Kedua, Prasangka Seks
(seks bias).
Prasangka seks atau keunggulan cenderung
merendahkan prestasi wanita meskipun berprestasi melampaui prestasi pria, erat
hubungannya dengan perasaan keunggulan laki-laki remaja yang berkembang dengan
penggolongan peran seks. Anak permpuan mungkin mengetahui bahwa kemampuan
prestasinya dari pada anak laki-laki namun ia tidak berani mengungkapkan hal
itu. Ketidakberanian mengungkapkan ini akan membahayakan dirinya untuk
memperoleh dukungan sosial. Konsekuensinya, wanita menganggap bahwa prestasinya
lebih rendah dari pada prestasi laki-laki bahkan sampai-sampai kaumnya
benar-benar mempercayai anggapan ini.
Ketiga, Prestasi Rendah.
Kesadaran
tentang nilai yang dimiliki anak laki-laki bagi pasangan kencan dan pasangan
hidup mendorong anak perempuan untuk berprestasi rendah dalam setiap kegiatan
yang melibatkan kedua kelompok seks. Hal ini dilakukan karena untuk
menyesuaikan diri dalam stereotipe tradisional tentang keunggulan maskulin.
Dalam kegiatan-kegiatan yang hanya melibatkan anak perempuan, seperti di
sekolah-sekolah yang khusus untuk anak perempuan., tidak ada alasan untuk
berprestasi rendah, dengan demikian anak perempuan berprestasi sesuai dengan
kemampuannya kecuali kalau ada alasan-alasan lain yang mengakibatkan prestasi
rendah.
Keempat, Takut Berhasil.
Di
balik prestasi yang rendah pada beberapa anak perempuan terdapat rasa takut
berhasil---ketakutan yang didasarkan pada anggapan bahwa keberhasilan akan
menghalangi diberikannya dukungan sosial oleh anak laki-laki dan meletakkan
halangan yang sangat besar dalam proses pemilihan pasangan hidup. Meskipun
ketakutan ini bersifat sementara sampai anak perempuan menemukan sang idaman
untuk menikah, ketakutan ini dapat memperkuat kecenderungan untuk berprestasi
rendah, suatu kecenderungan yang dapat sering kali menjadi kebiasaan untuk berprestasi
rendah sepanjang hidup. Hal ini jarang terjadi pada anak perempuan yang
mengikuti sekolah khusus untuk anak perempuan dibandingkan dengan perempuan
yang bersekolah di sekolah campuran.
Untuk itu besar
harapan kita, semua orang tua, guru, masyarakat, tokoh agama dapat
memberikan informasi dan pemahaman tentang seks yang benar kepada remaja. Karena saat ini berbicara masalah seks
bukan lagi hal yang tabu. Remaja harus mengetahuinya. Para pendidik diharapkan
memahami karakteristik perilaku seksual remaja, perkembangan peranan seks pada
remaja, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja.
Sumber: